Sementara pada ayat yang lain Al-Qur'an al-Karim menyebutnya secara makna,
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman." (QS. an-Nahl: 106)
Tagiyyah, ialah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan kebalikannya, manakala seseorang mengkhawatirkan atas dirinya, hartanya dan kehormatannya. Dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipermasalahkan oleh seorang Muslim pun. Karena orang yang dipaksa tidak dihisab atas sesuatu yang dipaksakan atasnya. Bahkan terkadang seseorang wajib melakukan taqiyyah manakala jika dia tidak melakukan taqiyyah hal itu akan membahayakan orang lain atau membahayakan kepentingan agama. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang Mukmin keluarga Fir'aun. Karena, pada keadaan terpaksa hukum tidak berlaku atas maudhu' (objek hukum).
Allah SWT berfirman, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. al-Baqarah: 173)
Apa yang disampaikan oleh Ihsan Ilahi Zahir dalam masalah ini tidak lain hanyalah merupakan rekayasa dan tipu muslihat yang licik. Dia menjelaskan tagiyyah dengan kebohongan, dan kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Ketika pengertian yang disampaikannya ini tertanam di dalam benak pembaca, dengan segera dia membanjiri para pembaca dengan riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang taqiyyah.
Sehingga dengan demikian, pembaca meletakkan kata "bohong" pada tempat kata "taqiyyah". Sehingga dengan begitu pembaca akan keluar dengan makna-makna yang menjadikannya benci dari segala sesuatu yang dikatakan Syi'ah.
Saya tidak sedang menolak atau membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Syi'ah, karena dia —Ihsa Ilahi Zahir— bukan-lah seorang ahli diskusi dan argumentasi. Dia tidak menyebutkan satu pun argumentasi yang menentang, sehingga perlu untuk dijawab. Yang menjadi fokus perhatian kita ialah hanya metode penyampaiannya saja.
b. Catatan Kedua: Tidaklah logis jika sekiranya Anda memperolok-olok dan menghakimi keyakinan orang, hanya karena semata-mata keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan-keyakinan Anda. Namun sungguh amat disayangkan, itulah metode dia dan metode penulis-penulis lainnya. Mereka mengatakan, segala sesuatu yang berbeda dengan kita adalah salah. Salat mereka tidak sama dengan salat kita, puasa mereka berbeda dengan salat kita, dan zakat mereka tidak sama dengan zakat kita.
Seolah-olah mereka adalah sumbu agama dan para pemimpin kaum Muslimin, yang mau tidak mau segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya. Mereka melanggar kaidah yang mengatakan, "Kita senantiasa bersama dalil, kami condong ke mana pun dalil condong."
Ini bertentangan dengan metode yang digunakan oleh Al-Qur'an di dalam melakukan pembahasan dan dialog ilmiah, yang mengakui kedua belah pihak. Allah SWT dan Rasul-Nya tahu bagaimana berbicara kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik.
Allah SWT berfirman, "Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. " (QS. Saba: 25)
Perhatikanlah perlakuan santun yang indah ini. Al-Qur'an tidak mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kami berada dalam kebenaran sedangkan kamu berada dalam kesesatan. Melainkan Al-Qur'an mengatakan, apakah kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kebatilan. Inilah metode al-Qur'an tatkala menawarkan kebebasan berdialog kepada semua, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.'" (QS. al-Baqarah: 111)
Rasulullah saw mendengarkan argumentasi-argumentasi mereka dan menjawabnya dengan cara yang paling bagus. Al-Qur'an al-Karim telah merekam contoh yang banyak, baik yang bersama Rasulullah saw maupun yang bersama para Nabi sebelumnya. Di dalam kisah Ibrahim dan Namrud, serta Musa dan Fir'aun terdapat sebaik-baiknya pelajaran. Allah SWT merekam hujjah dan argu-mentasi orang-orang di dalam Al-Qur'an-Nya, dan Dia tetap mem-berikan kesucian kepada ayat-ayat yang merekamnya sebagaimana kepada ayat-ayat lainnya. Seorang Muslim tidak boleh menyentuhnya dengan tanpa wudu, berdasarkan fiqih Syi'ah.
Kemana Ihsan Ilahi Zahir dan orang-orang yang sepertinya dari menggunakan metode Al-Qur'an yang indah ini. Dia bangga dengan dirinya dan kelompoknya sambil mengatakan, "Kamilah para pembaca Al-Qur'an yang membacanya sepanjang malam dan siang."[146]
Apa faedah orang yang membaca Al-Qur'an namun tidak mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengambil pelajaran yang dapat membukakan jalan baginya di dalam kehidupan, serta bertanya kepadanya bagaimana memperlakukan orang lain yang menentang dirinya di dalam masalah akidah dan mazhab. Sungguh benar Imam Ali tatkala mengatakan, "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an namun Al-Qur'an melaknatnya.
Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir
▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah, serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah. Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,
"Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling."
Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya, sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.
Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang ditujukan kepada Muawiyah,
"Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.
Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam."[147]
Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak, sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa saja yang Anda ingin perbuat.
Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.
▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, "Sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab, yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka akan membi-nasakan seluruh mereka."[148]
Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, "Oleh karena itu, datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang kedelapan di kalangan Syi'ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga tentang sabdanya yang berbunyi, "Seru para sahabatku untukku", dia menjawab, "Ini benar."[149]
Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi'ah tidak berhak mencela atau mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti bertentangan dengan para Imam mereka.
Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan kepada Anda seluruh teks hadis di atas,
"Perawi berkata, 'Ayahku berkata kepadaku, 'Seseorang telah berkata, 'lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi, 'Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga sabdanya saw yang berbunyi, 'Serulah para sahabatku untukku'. Imam ar-Ridha as menjawab, 'Hadis ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah sepeninggalnya.' Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, 'Bagaimana Rasulullah saw tahu bahwa mereka akan berubah?' Imam ar-Ridha as menjawab, 'Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, 'Sekelompok orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, 'Ya Rabb, sahabatku, sahabatku.' Lalu aku dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka mereka pun digiring ke arah utara. Lalu aku mengatakan, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"[150]
Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis, bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.
Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!
Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi "Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan", yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.
Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab "Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu", dan di dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam bab sifat-sifat kiamat, bab "apa yang terjadi ber-kenaan dengan kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah utara, maka aku berkata, 'Tuhanku, sahabatku, sahabatku', lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka aku berkata sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Saya menjadi saksi atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.' Kemudian dijawab, 'Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka."'
Bukhari meriwayatkan di dalam kitab "ad-Da'wat", bab Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab "al-Manasik", bab "Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban", hadis nomer 5830; sebagaimana juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,
"Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata, 'Sahabatku'. Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"
Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha'il, bab "Pembuktian Telaga Nabi Kita", hadis 40, disebutkan, "Sekelompok orang yang telah bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, 'Ya Tuhan, sahabatku.' Kemudian aku dijawab, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"
Bukhari juga meriwayatkan, "Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"
Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.
Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi'ah, namun Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sahihmu.
▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang dikutipnya,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku. Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu."
Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara lengkap,
Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu."[151]
Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini, disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!
Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu Anda menisbahkannya kepada orang itu.
Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, "Dan kebanyakan dari mereka tidak menyukai kebenaran."
Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.
Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini. Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!
Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, "Ath Thabrasi juga menukil dari Imam Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada pemerintahannya (Abu Bakar." Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah, maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat' Usamah bertanya, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Sudah.'"
Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara lengkap dari sumber di atas,
"Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, 'Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar pun menulis surat kepadanya,
'Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid. Amma ba'du,
Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku. Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.'
Perawi melanjutkan riwayatnya, 'Maka Usamah pun menulis surat jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,
'Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan Syam. Amma ba'du,
Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu. Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir. Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu. Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia, sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di Madinah dengan tanpa ijin.'"
Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi berkata, "Maka Umar berkata kepadanya, 'Jangan kamu lakukan, karena sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.'" Umar mendesaknya untuk menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka perbuat.
Perawi berkata, "Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, 'Hendaknya kamu rida dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu."' Perawi menuturkan lebih lanjut, "Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi Thalib as dan bertanya kepadanya, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat.' Usamah bertanya lagi kepada Ali, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Ya, wahai Usamah.' Usamah bertanya lagi, 'Karena taat atau karena terpaksa?' Ali menjawab, 'Karena terpaksa.'"
Perawi melanjutkan, "Maka Usamah pun berangkat dan datang menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, 'Salam atasmu, wahai khalifah kaum Muslimin.' Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, 'Salam atasmu, wahai komandan.'"[152]
Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,
"Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka." (QS. al-Baqarah: 50)
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Maidah: 13)
3. Kitab Tabdid azh-Zhalam wa Tanbih an-Niyam ila Khathar at-Tasyayyu' 'ala al-Muslimin wa al-Islam, Karya Ibnu Jabhan.
Saya belum melihat sebuah kitab yang lebih besar permusuhannya kepada Ahlul Bait dan para syi'ahnya dibandingkan kitab ini. Dia telah membulatkan tekadnya untuk mencaci maki mereka dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka, dengan tanpa adanya objektifitas di dalam diskusi dan dialog. Seluruh yang berasal darinya adalah tidak lain berisi pengkafiran, pengfasikan dan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat orang lain. Orang yang membaca bukunya akan mendapati saya amat lapang dada.
Saya yakin dia tidak menginginkan dari kitabnya ini selain dari ingin menyulut fitnah di antara kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah, serta memecah belah barisan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara, supaya bertambah bala dan kelemahan yang menimpa mereka. Alangkah bagusnya jika bukunya ini dikirimkan kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, yaitu negara Israel.
Di samping dia seseorang yang lebih bodoh untuk bisa diajak berdiskusi, karena tidak ada satu dalil pun yang dikemukakannya, bukunya ini tidak lebih hanya berupa kumpulan kebohongan dan rekayasa atas Ahlul Bait dan para pengikutnya. Dia menafikan seluruh keutamaan yang datang berkenaan dengan mereka, dan mengingkari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dengan jelas menunjukkan wajibnya berpegang teguh kepada mereka.
Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara yang dia gunakan di dalam mendaifkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait:
a. Setelah menyebutkan sekumpulan hadis dia mengatakan, "Kami menolaknya dan kami menolak monster kemanusiaan yang bergantung padanya."[153]
a.1. Hadis pertama, "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti pintu pengampunan. Siapa saja yang memasukinya akan aman." "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nuh. Siapa saja yang berpegang kepadanya akan selamat dan siapa saja yang tertinggal darinya akan tenggelam."
Dia mendhaifkan hadis ini dengan selemah-lemahnya argumentasi. Dia mengatakan, "Hadis ini mengharuskan bahwa keselamatan dan keamanan terletak di dalam berpegang kepada Ahlul Bait, dan kecelakaan serta kemusnahan terletak di dalam ketertinggalan dari mereka. Yang demikian ini tidak dibolehkan berdasarkan ucapan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an tidak mensyaratkan untuk keselamatan kecuali dengan beriman kepada Allah dan beramal saleh, dan tidak memperingatkan kehancuran kecuali atas kekufuran dan melaksanakan perbuatan maksiat; serta tidak ada satu pun ayat di dalam Kitab Allah yang bertentangan dengan ucapan kita ini."[154]
Saya katakan, "Namun, apa hubungannya perkataan Anda dengan hadis ini. Karena pembuktian sesuatu tidak menafikan selainnya. Ini yang pertama.
Yang kedua, seluruh Al-Qur'an menentang ucapan Anda. Al-Qur'an yang ada di tangan Anda ini memerintahkan kita untuk berpegang kepada para nabi dan para rasul, dan menetapkan kekufuran orang yang tidak berpegang kepada mereka, "Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang kamu dilarang olehnya maka jauhilah." Demikian juga Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berpegang kepada para wali, "Taatilah Allah, dan taatilah Rasul serta ulil amri dari kamu." Perintah di dalam ayat ini dengan jelas menunjukkan kepada wajib, maka dengan demikian wajib hukumnya berpegang kepada mereka. Allah SWT juga telah mewajibkan kepada kita untuk berpegang kepada orang-orang Mukmin dan mengikuti jalan mereka.
Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. an-Nisa: 115)
Maka, tidak berpegang teguh kepada mereka berarti kehancuran. Namun amat disayangkan, Ibnu Jabhan tidak merujuk kepada Kitab Allah sehingga dia tahu bagaimana perbuatan masuk pintu bagi Bani Israil merupakan pengampunan bagi dosa-dosa mereka, "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan kata-kanlah, 'Bebaskanlah kami dari dosa', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Baqarah: 58)
0 comments:
Post a Comment