Para Ulama Ahlus Sunnah Dan Kalangan Terpelajar Mereka Yang Masuk Syi'ah
Sekelompok dari kalangan para tokoh Ahlus Sunnah dan para ulama mereka, telah mampu memutus belenggu dan melampaui hadangan propaganda, sehingga terbuka bagi mereka berbagai ilmu dan pengetahuan yang lain. Dan, sebagian dari mereka telah berpindah ke mazhab Syi'ah.
Juga turut bergabung ke dalam iring-iringan ini beribu-ribu orang yang memiliki pemikiran dan pena yang bebas, baik dahulu maupun sekarang. Kita tidak mungkin dapat menyebutkan nama mereka satu persatu, namun kita cukup menyebutkan beberapa orang dari mereka sebagai contoh:
1. Muhaddis Jalil Abu Nafar Muhammad bin Mas'ud bin 'Ayasy, yang dikenal dengan panggilan al-'Ayasyi. Dia termasuk salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah sebelum menjadi Syi'ah. Dia juga terhitung sebagai ulama besar Syi'ah Imamiyyah. Dia mempunyai kitab tafsir al-ma'tsur, yaitu kitab tafsir al- 'Ayasyi.
2. Syeikh Muhammad Mar'i al-Amin al-Anthaqi. Dia keluar dari al-Azhar dan menyandang kedudukan hakim agung di Halab. Dia mempunyai kedudukan di dalam lingkungan keilmuan dan sosial. Allah SWT telah memberinya petunjuk untuk berpegang kepada ajaran Ahlul Bait. Dia mempunyai sebuah kitab yang telah dicetak dan diterbitkan, dengan judul Limadza Ikhtartu Madzhab asy-Syi'ah (Kenapa Saya memilih Mazhab Syi'ah). Beribu-ribu penduduk kota Halab pun telah ikut menjadi Syi'ah bersamanya.
3. Syeikh Salim Bisyri. Dia termasuk ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dia telah memangku jabatan Syeikh al-Azhar sebanyak dua kali dalam hidupnya. Telah terjadi berbagai dialog antara dia dengan Abdul Husain Syarafuddin, seorang ulama Syi'ah. Kemudian hasil-hasil dialog tersebut dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang diberi judul al-Muraja'at (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dialog Sunah Syi'ah —penerj.) Dialog yang tenang dan santun ini telah menjadikan Syeikh Salim Bishri menjadi Syi'ah. Pada permulaan dialog, Syeikh Salim Bishri telah menyatakan bahwa dirinya tidak ta'assub, dan ini diungkapkan dalam kata-katanya,
"Sesungguhnya saya hanyalah seorang penyelidik yang rindu akan kebenaran. Jika kebenaran tampak jelas, maka sesungguhnya kebenaran adalah sesuatu yang paling berhak untuk diikuti; dan jika tidak, maka sesungguhnya saya akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang,
'Kami rida dengan apa yang ada pada kami
dan kamu pun rida dengan apa yang ada pada kamu,
karena pendapat kita berbeda."[134]
Setelah dilakukan berbagai dialog yang mengungkapkan keilmuan, kebesaran kedudukan, akhlak dan kesetiaan kedua belah pihak kepada kebenaran, pada akhir dialog Syeikh Salim Bishri menyatakan, "Sehingga telah berlalu kesamaran, dan telah jelas kebenaran dari campurannya, serta telah tampak waktu subuh bagi orang yang mempunyai dua mata. Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada agama-Nya, dan atas taufik seruan-Nya kepada-Nya melalui jalan-Nya. Serta salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepadanya dan kepada keluarganya."[135]
4. Syeikh Muhammad Abu Rayah. Seorang ulama dan penulis Mesir. Dia mempunyai banyak kitab dan karya, di antaranya ialah, kitab Adhwa' 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah dan kitab Abu Hurairah Syeikh al-Mudhirah.
5. Pengacara Ahmad Husain Ya'qub. Dia seorang penulis Yordania yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai kitab yang berjudul Nazhariyyah 'Adalah ash-Shahabah dan kitab al-Khuthath as-Siyasiyyah li Tawhid al-Ummah al-hlamiyyah.
6. Doktor at-Tijani as-Samawi. Dia seorang Tunisia yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai sekumpulan kitab, yang di antaranya ialah, kitab Tsumma Ihtadaitu (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" penerj.), kitab Li akuna Ma'a ash-Shadiqin (juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bersama Orang-Orang Yang Benar" —penerj.), kitab Fas'alu Ahla adz-Dzikr dan kitab asy-Syi 'ah Hum Ahlus Sunnah.
7. Seorang penulis dan sekaligus redaktur, Sayyid Idris al-Husaini, yang berasal dari Maroko. Dia mempunyai kitab yang masih berupa transkrif yang berjudul Laqad Tasyayya'ani al-Husain, kitab al-Khilafah al-Mughtashabah dan kitab Hakadza 'Araftu asy-Syi'ah.
8. Sha'ib Abdul Hamid. Dia mempunyai kitab yang berjudul Manhaj fi al-Intima' al-Madzhabi.
9. Sa'id Ayub. Dia mempunyai kitab yang berjudul 'Agidah al-Masih ad-Dajjal. Di dalam permulaan kitabnya dia mengatakan, "Di dalam pembahasan niscaya Anda mendapati saya berusaha melenyapkan berbagai timbunan yang menutupi kebenaran, sehingga kebenaran menjadi jelas di hadapan mata dan akal. Yaitu berbagai timbunan yang telah diletakkan oleh guru-guru kegelapan selama sepanjang sejarah manusia. Ketika saya memegang cangkul untuk menghilangkan berbagai rintangan yang menyesatkan, saya mempunyai sarana yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan ini."[136] Dia mempunyai juga kitab Ma'alim al-Fitan, yang terdiri dari dua juz.
10. Seorang penulis Mesir yang bernama Shalih al-Wardani. Dia mempunyai kitab yang berjudul al-Khuda'ah (Rekayasa), Rihlati Min as-Sunnah Ila asy-Syi'ah (Perjalananku dari Ahlus Sunnah ke Syi'ah), Harakah Ahlul Bait as, asy-Syi'ahfi Mishr (Syi'ah di Mesir), dan 'Aga'id as-Sunnah wa 'Aqa'id asy-Syi'ah (Akidah Syi'ah dan Ahlus Sunnah).
11. Seorang penulis Mesir yang bernama Muhammad Abdul Hafidz. Dia mempunyai kitab yang berjudul Limadza Ana Ja'fari (Kenapa Saya bermazhab Ja'fari).
12. Seorang penulis Sudan, yaitu Doktor Sayyid Abdul Mun'im Muhammad al-Hasan. Dia mempunyai kitab yang berjudul Bi Nur Fathimah Ihtadaitu (Dengan Cahaya Fatimah Saya Mendapat Petunjuk).
13. Syeikh Abdullah Nashir dari Kenya. Dia menjadi Syi'ah setelah sebelumnya menjadi salah seorang Syeikh Wahabi. Dia mempunyai berbagai kitab di dalam masalah ini, di antaranya ialah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa al-Hadits, asy-Syi'ah wa ash-Shahabah, asy-Syi'ah wa at-Taqiyyah dan asy-Syi'ah wa al-Imamah.
14. Yang mulia al-'Alim al-Khathib al-Munadzir Sayyid Ali al-Badri. Dia mempunyai jasa yang besar di dalam menyebarkan mazhab Ahlul Bait as setelah menjadi Syi'ah. Dia berkeliling dunia melakukan berbagai dialog. Lalu hasil-hasil dialognya itu dia bukukan ke dalam kitab besar, yang sedang dalam proses pencetakan, dengan judul Ahsan al-Mawahib fi Haqa'iq al-Madzahib.
15. Seorang penulis dari Syiria yang bernama Sayyid Yasin al-Ma'yuf al-Badrani. Dia mempunyai sebuah kitab dengan judul Ya Laita Qawmi Ya'lamun.
Contoh-Contoh Dari Penyelewengan Yang Dilakukan Para Penulis
Seluruh kitab yang memberi jawaban terhadap Syi'ah tidak dimaksudkan kecuali untuk menyerang, mencemarkan, memalsukan dan menyebarkan tuduhan dan kebohongan. Di samping di dalam men-jawab keyakinan-keyakinan Syi'ah mereka bersandar kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah. Yang demikian ini bukanlah sesuatu yang objektif di dalam berdialog dan berargumentasi.
Syeikh al-Mudzaffar berkata mengenai hal ini, "Ketahuilah, sesungguhnya tidak dibenarkan berargumentasi terhadap lawan kecuali dengan menggunakan argumentasi yang menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Anda dapat melihat penulis —Allamah al-Hilli— dan yang lainnya manakala mereka menulis argumentasi atas Ahlus Sunnah mereka selalu menyebut hadis-hadis mereka, bukan hadis-hadis kita. Sementara mereka (Ahlus Sunnah) tidak berpegang kepada kaidah pembahasan dan tidak meniti jalan dialog sebagaimana yang semestinya."[137]
Mereka juga hanya memberi jawaban terhadap gambaran umum tentang keyakinan Syi'ah, dengan tanpa menjawab secara logis setiap bagian dari bagian-bagian mazhab Syi'ah. Sikap yang demikian ini tidaklah adil di dalam bab keamanahan ilmiah. Oleh karena itu, Anda mendapati Doktor Bashir al-Ghifari berkata di dalam mukaddimah bukunya yang berjudul Ushul Madzhab Syi'ah, halaman 15, ".. Karena sebagian keyakinan ada yang cukup untuk mengetahuinya hanya dengan semata-mata mengemukakannya. Oleh karena itu, Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa penggambaran mazhab yang batil telah cukup untuk menerangkan kebatilan mazhab tersebut, dan tidak diperlukan dalil yang lain yang mengiringi penggambaran tersebut."
Jika apa yang dikatakannya itu benar, maka mau tidak mau seseorang yang menggambarkan suatu akidah harus mengimani dan mempercayai akidah tersebut, sehingga dia mempunyai kebebasan yang cukup di dalam menjelaskan keyakinan-keyakinannya. Sungguh merupakan sebuah kezaliman manakala suatu pihak masuk untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan pihak lain dengan gambaran yang paling buruk. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah merupakan suatu bentuk pembodohan terhadap pengikut-pengikutnya, manakala mereka menggambarkan mazhab-mazhab yang bertentangan dengan mereka dengan gambaran sebagai mana yang mereka kehendaki. Jika ini cukup untuk menjadi hujjah, maka tentu seorang kafir yang hidup di Eropa yang mempunyai pandangan yang buruk tentang Islam, sebagai akibat dari gambaran yang diberikan oleh kalangan orientalis dan para musuh agama, tentu mereka termaafkan. Sungguh, ucapannya ini lemah, dan metodeloginya salah, sehingga tidak dapat digunakan untuk berargumentasi. Namun sayangnya memang inilah watak dan kebiasaan mereka. Berikut ini kami ketengahkan beberapa contoh penyimpangan dan penyelewengan:
1. Kitab Ushul Madzhab 'ala asy-Syi'ah. Karya Dr. Nashir Abdullah al-Ghifari, yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor, dari Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, dan dia memperoleh peringkat Summa Cumlaude. Kebohongan-Kebohongannya Atas Syi'ah:
a. Dia mengatakan, "Jadi, Syi'ah memerangi Sunah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah dinamakan dengan nama ini disebabkan mereka mengikuti sunah al-Musthafa saw."[138] Kemudian, setelah itu dia berusaha mengeluarkan riwayat-riwayat Syi'ah yang mewajibkan untuk mengikuti sunah. Dia berkata, "Hanya saja seseorang yang mempelajari nas-nas Syi'ah dan riwayat-riwayatnya, terkadang dia sampai kepada kesimpulan bahwa Syi'ah secara zahir mengakui sunah namun secara batin mengingkarinya. Karena sebagian besar dari riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin, baik dari segi pemahaman, penerapan, sanad dan matan."[139]
Adapun perkataannya yang mengatakan bahwa Syi'ah memerangi sunah, tidaklah pada tempatnya. Karena kitab-kitab hadis yang ada pada Syi'ah berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah. Bahkan, riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab al-Kafi saja melebihi riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab sahih yang enam (ash-Shihah as-Sittah). Apalagi bila ditambah dengan beberapa ensiklopedia hadis seperti Bihar al-Anwar yang mencapai 110 jilid.
Jika Syi'ah memerangi sunah, lantas untuk apa semua ensiklopedia hadis ini?
Atau, apa yang dimaksud dengan sunah olehnya?
Apakah yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah di dalam kitab-kitab sahih mereka?
Jika benar, maka ini merupakan hujjah bagi mereka namun tidak bagi Syi'ah.
Adapun perkataannya yang mengatakan, "Sesungguhnya sebagian besar riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin..." adalah perkataan yang aneh. Karena, jika mereka sejak awal sepakat dengan Ahlus Sunriah di dalam hadis-hadis, baik dari segi sanad, matan, penerapan dan pemahaman, maka tentu tidak ada alasan untuk berbeda dan berselisih. Syi'ah mengimani sunah Rasulullah saw dan berpegang teguh kepadanya. Pemonopolian Ahlus Sunnah terhadap sunah Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak adil.
Kemudian yang kedua, apakah Anda dan kaum Anda merupakan sumbu agama, sehingga Anda berhak mengukur segala sesuatu dengan diri Anda?! Keadilan manakah yang mengiyakan perkataan yang seperti ini.
b. Penyelewengannya terhadap kebenaran, dengan cara menukil nas-nas yang dipotong, sehingga merubah arti. Pada akhir mukaddimahnya dia mengatakan, "Saya bertekad untuk menukil huruf demi huruf, dengan tujuan untuk menjaga objektifitas dan pentingnya ketelitian di dalam penukilan. Ini merupakan keharusan metodelogi ilmiah di dalam menukil perkataan pihak lawan."
Apakah tuan Doktor berpegang teguh kepada apa yang dikatakannya?
▪ Di dalam halaman 252, juz 2, di dalam perkataannya tentang "melihat Allah" dia menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu Babawaih al-Qummi, dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah as. Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya.'"
Dia menukil riwayat ini dari kitab at-Tawhid, halaman 117, namun dia tidak menyebutkan riwayat secara sempurna, sehingga merubah arti sama sekali. Berikut ini kami ketengahkan riwayat tersebut secara sempurna, dan silahkan Anda sendiri menilai.
Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya. Bahkan mereka telah melihatNya sebelum hari kiamat.'
Saya bertanya, 'Kapan?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ketika Allah SWT berkata kepada mereka, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu.' Lalu mereka menjawab, 'Benar, Kamu adalah Tuhan kami.'
Kemudian Imam as diam beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang Mukmin pasti melihat Allah di dunia, sebelum hari kiamat. Bukankah kamu sedang melihat-Nya pada waktu sekarang?'
Abi Bashir berkata, 'Saya menjadi tebusan Anda, apakah boleh saya ceritakan tentang hal ini dari Anda.'
Abi Abdillah as menjawab, 'Tidak. Karena jika kamu menceritakannya, maka pengingkar yang bodoh akan mengingkari makna yang kamu katakan, dan akan menganggapnya bahwa itu tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal, penglihatan dengan hati bukanlah sebagaimana penglihatan dengan mata. Mahasuci Allah dari apa-apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan oleh orang-orang yang mengingkariNya."'
Anda dapat melihat betapa perbedaan di antara arti yang pertama dengan arti yang kedua. Bahkan, arti yang pertama, berdasarkan teks riwayat, seluruhnya berasal dari ucapan para musyabbihin dan mulhidin.
Kenapa dia tidak menukil perkataan Imam Muhammad al-Baqir as tatkala dia ditanya oleh seorang Khawarij. Orang khawarij berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang kamu sembah?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Allah."
Orang khawarij itu bertanya lagi, "Apakah kamu telah melihat-Nya?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Tentu, akan tetapi bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan hakikat iman. Dia tidak dikenal melalui "qiyas, dan tidak dipahami melalui indera. Dia digambarkan melalui ayat-ayat, dan dikenal melalui dalil-dalil. Tidak ada penyimpangan di dalam hukum-Nya. Dia itulah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia."[140]
▪ Salah satu bukti lain dari pemotongan riwayat yang dia lakukan ialah perkataannya tentang kaifiyyah (keadaan) Allah. Dia menukil sebuah riwayat dari kitab Bihar al-Anwar, yaitu riwayat dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq yang mengatakan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq as ditanya tentang Allah SWT, "Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?"
Imam Ja'far ash-Shadiq as menjawab, "Mahasuci Allah dari yang demikian itu. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Sesungguhnya penglihatan tidak dapat menggapai sesuatu kecuali yang mempunyai warna dan kaifiyyah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta warna dan kaifiyyah."[141]
Nashir Abdullah al-Ghifari memberikan komentar mengenai hal ini, "Tampak sekali bahwa hujjah yang digunakan oleh mereka, yang meletakkan riwayat ini atas Ja'far, mengandung penafian wujud al-Hak. Karena sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya."[142] Pertama-tama, kita akan memberikan komentar atas kaidah yang dia katakan, dan kemudian baru kita menyebutkan bukti pemotongan di dalam hadis.
Dia mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya".
Dia menyebutkan kaidah ini —yang merupakan sebuah kaidah yang aneh— sebagai lawan dari hadis Imam Ja'far ash-Shadiq as di atas. Sungguh, akal yang tidak yang diterangi dengan riwayat Ahlul Bait, dan malah terdidik dengan riwayat-riwayat Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Manbah, tidak dapat memahami hadis-hadis Ahlul Bait.
Apa yang dimaksud dengan kata-kata "secara mutlak" olehnya. Apakah artinya sesuatu yang tidak memiliki kaifiyyah dari seluruh magulat al-kaif (kategori keadaan)?
Jika yang dia maksud adalah ini, maka benar bahwa Allah SWT keluar dari maqulat al-kaif. Dia tidak diliputi oleh pertanyaan di mana, arah mana atau tempat apa. Barangsiapa yang mengatakan Allah SWT berbentuk dengan salah satu kategori keadaan atau bentuk sebagaimana yang dikenal, maka dia telah kafir, dan telah mensifati Allah dengan sifat-sifat materi. Karena kaifiyyah (bentuk) adalah termasuk keharusan jisim dan keterbatasan, sedangkan Allah SWT tidak terbatas dan bukan materi. Inilah kesalahan saudara penulis. Tatkala dia membayangkan Allah SWT dengan bercorak dengan satu keadaan, maka ini kembali kepada pemahamannya yang bersifat inderawi. Dia tidak mampu memahami sesuatu kecuali dalam batas-batas inderawi, oleh karena itu dia mengingkari wujud setiap maujud yang keluar dari kerangka kaif.
Atau, mungkin yang dimaksud olehnya adalah kaif yang keluar dari maqulat al-kaif (kategori keadaan) yang sudah dikenal, maka ini tidak dinamakan kaif, sehingga dengan begitu perkataannya tidak mengena.
Kemudian dia menyebutkan sebagian riwayat, untuk menguatkan perkataannya dan sekaligus untuk membuktikan pertentangan yang terjadi di dalam riwayat-riwayat Syi'ah. Dia berkata, "Sebagaimana hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh penulis al-Kafi, dari Abi Abdillah as yang berkata, '... namun mau tidak mau kita harus membuktikan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.'"[143]
Berikut ini kami nukilkan riwayat tersebut secara keseluruhan, supaya terbukti bagi Anda sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia katakan, Seorang penanya berkata, "Anda telah membatasi-Nya jika Anda menetapkan wujud-Nya." Abu Abdillah as berkata, "Aku tidak membatasi-Nya melainkan aku menetapkan-Nya. Karena tidak ada kedudukan di antara penafian dan penetapan." Penanya bertanya lagi, "Apakah Dia mempunyai esensi?" Abu Abdillah as menjawab, "Ya, karena tidak tertetapkan sesuatu kecuali dengan esensi. Mau tidak mau kita harus keluar dari penghentian (ta'thil) dan penyerupaan (tasybih). Karena barang siapa yang menafikan-Nya maka berarti dia telah mengingkari-Nya dan meniadakan ke-rububiyyahan-Nya. Dan barang siapa yang menyerupakan-Nya dengan sesuatu selain-Nya maka berarti dia telah menetapkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk yang tidak layak menyandang sifat ketuhanan. Namun, mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain-Nya yang meliputinya dan tidak ada yang mengetahuinya selain-Nya."[144]
Baca dan renungilah makna yang dapat diambil dari riwayat ini. Sungguh dia berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Nashir Abdullah al-Ghifari yang mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak mempunyai kaifiyyah, berarti tidak ada wujudnya." Perkataan Imam kepada penanya yang menanyakan "Apakah Dia mem-punyai kaifiyyati', dan Imam menjawab, "Tidak", adalah merupakan jawaban atas kaidah yang dilandasi dengan hadis yang dipotong. Kaifiyyah yang dimaksud dan diyakini oleh penulis adalah kaifiyyah yang termasuk ke dalam sifat-sifat maudhu'. Imam as telah mensucikan Allah dari sifat-sifat yang demikian dengan jawaban yang di-berikannya kepada penanya, "Karena kaifiyyah adalah sisi sifat dan keterliputan." Yang demikian ini tidak berlaku atas Allah SWT. Sedangkan kaifiyyah yang dikatakan oleh Imam as pada akhir hadis, "kaifiyyah yang tidak ada yang berhak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya..." adalah kaifiyyah yang kalau pun dinamakan dengan nama kaifiyyah, itu adalah hanya semata-mata kiasan, disebabkan kekurangan kata-kata bahasa. Dan dia tidak dinamakan dengan sebutan kaifiyyah kecuali semata-mata termasuk ke dalam bab persekutuan kata (al-isytirak al-lafdzi), sehingga dia sama dari sisi kata namun berbeda dari sisi arti.
Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi dengan sanad dan matan yang sama, "... namun mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia adalah Zat yang tidak ber-kaifiyyah, yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Dia."[145]
Riwayat ini menghilangkan kesamaran dan menjelaskan seluruh yang dimaksud. Yaitu menafikkan seluruh kaifiyyah. Karena menetapkan kaifiyyah untuk Allah SWT adalah perbuatan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Adapun yang dimaksud darinya ialah menetapkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan itu adalah Zat-Nya itu sendiri.
2. Ihsan Ilahi Zahir.
Dia termasuk salah seorang penulis yang amat memusuhi Syi'ah. Dia mempunyai sejumlah buku jawaban atas Syi'ah, dan saya mempunyai empat buku darinya:
- Asy-Syi'ah wa as-Sunnah.
- Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
- Asy-Syi'ah wa al-Qur'an.
- Asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'.
Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab dan menyerang pemikiran-pemikiran Syi'ah. Alangkah indahnya jika sekiranya dia bersikap bersih, jujur dan santun. Dia telah membuat kebohongan-kebohongan atas Syi'ah sedemikian rupa sehingga menjadikan anak-anak menjadi beruban dan orang-orang dewasa menjadi tua renta. Saya mengajak seluruh orang yang berakal lurus untuk membaca buku-bukunya, lalu silahkan menilai metode yang digunakannya, kemudian melihat kebohongan-kebohongannya, dan berikutnya menyaksikan pemalsuannya, setelah sebelumnya terlebih dahulu merujuk kepada buku-buku Syi'ah yang berbicara tentang topik pembahasan yang sama.
Di sini saya cukup kan dengan menyebutkan beberapa bukti. Karena tidak diperlukan jawaban dan pembahasan secara rinci. Sebelum saya menjeleskan berbagai pemalsuan yang dilakukannya terhadap ke-benaran, terlebih dahulu saya akan memberikan dua catatan singkat tentang cara penjelasan dan metode penyampaian pikiran yang dilakukannya:
a. Catatan Pertama: Di dalam menjelaskan dan mengemukakan keyakinan-keyakinan Syi'ah dia bertumpu kepada cara-cara yang tidak layak dan dengan menggunakan judul-judul yang menjijikkan, sehingga dengan begitu dia menciptakan tabir pemisah di antara pembaca dengan keyakinan-keyakinan Syi'ah. Seharusnya dia mengikuti cara-cara yang sehat di dalam menjawab, yaitu dengan pertama-tama menyebutkan keyakinan-keyakinan Syi'ah, lalu menyebutkan dalil-dalil mereka serta menjawab dalil-dalil yang mereka kemukakan, dan berikutnya kemudian berargumentasi atas keyakinan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, dia mengatakan di dalam bukunya asy-Syi 'ah wa as-Sunnah, halaman 53, di bawah judul "Masalah al-Bada", "Salah satu dari pemikiran yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi dan Abdullah bin Saba ialah berlakunya al-bada, yaitu lupa dan kebodohan pada Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan."
Kemudian, Dia menyebutkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Syi'ah mengenai seputar al-bada, dengan tanpa menyebutkan dalil-dalil yang dikemukakan Syi'ah tentang al-bada, baik yang berasal dari Al-Qur'an, riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim, perkataan-perkataan para ulama Ahlus Sunnah dan akal; dan dengan tanpa menjelaskan bagaimana pemahaman Syi'ah tentang al-bada, melainkan dia justru mendefenisikannya sendiri dengan menyebutnya sebagai "bodoh dan lupa". Lalu, dengan berpijak kepada defenisi yang salah ini, dia mulai memberikan penafsiran kepada riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang al-bada. Hal yang sama pun dia lakukan terhadap masalah tagiyyah. Dia menyebutkannya di dalam halaman 127, di bawah judul "Syi'ah dan Kebohongan". Dia memulai perkataannya, "Syi'ah dan kebohongan tidak ubahnya seperti dua kata yang searti (sinonim), yang tidak ada perbedaan sedikit pun di antara keduanya. Keduanya saling bertalian sejak hari pertama didirikannya mazhab ini. Tidaklah permulaan mazhab ini melainkan dimulai dari kebohongan dan dengan kebohongan..."
Kemudian dia berdalih, "Oleh karena Syi'ah merupakan produk kebohongan, maka mereka pun memberi warna pensucian dan pengagungan terhadap kebohongan, dan menamakannya bukan dengan namanya, melainkan dengan menggunakan kata "taqiyyah" untuk menyebutnya.."
Demi Allah, saya bertanya kepada Anda, hai Ihsan Ilahi Zahir, cara apakah ini yang Anda gunakan di dalam pembahasan ilmiah ini. Ini tidak lain semata-mata hanya penyerangan dan pengolok-olokkan. Bagaimana bisa dia menafsirkan tagiyyah dengan kebohongan? Padahal Al-Qur'an sendiri telah menggunakan kata ini. Allah SWT berfirman,
"Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " (QS. Ali Imran: 28)
0 comments:
Post a Comment