Friday, October 16, 2009

Kebenaran Hilang

Ibnu Jabhan bukan tidak mengetahui hal itu, namun rasa permusuhan dan kebenciannya yang sangat kepada Ahlul Bait telah mendorongnya melakukan demikian. Kita akan tambahkan kemarahannya dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas apa yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. asy-Syura: 23)

Dia berargumentasi, "Kenapa kita harus mengikuti Ahlul Bait. Apakah mereka mempunyai ilmu yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslimin seluruhnya. Sesungguhnya keyakinan yang seperti itu berarti menuduh Rasulullah saw telah melakukan pilih kasih dan menyembunyikan risalah.

Selama agama telah sempurna, maka apalagi yang dibutuhkan dari Ahlul Bait?"

Lihatlah oleh Anda ketololan argumentasi ini. Jika penyampaian dan penjelasan hukum-hukum agama kepada sebagian orang tanpa sebagian orang yang lain berarti tindakan pilih kasih, maka berarti Rasulullah saw —yang merupakan Rasul Allah bagi seluruh manusia— harus menyampaikan sendiri risalahnya kepada seluruh manusia seorang demi seorang, atau paling tidak kepada mereka yang hidup sezaman dengannya. Yang demikian ini tentu tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal. Di samping urusan ini tidak termasuk ke dalam kerangka tabligh.

Ahlul Bait memiliki sifat-sifat yang menjadikan mereka mempunyai kelayakan atas kepemimpinan umat. Sudah merupakan sesuatu yang jelas bahwa manusia berbeda-beda di dalam tingkat pemahaman dan penguasaan mereka, dan juga berbeda-beda di dalam tingkat keimanan mereka. Rasulullah saw telah menyampaikan ajarannya bagi seluruh manusia, namun Ahlul Bait adalah manusia yang paling dahulu keimanannya, paling banyak jihadnya dan paling utama ketakwaan dan kewarakannya. Oleh karena itu Allah SWT mensucikan mereka dari segala dosa di dalam Kitab-Nya.

Lantas, kedengkian apakah ini, wahai Ibnu Jabhan?!

Jika kesempurnaan agama menafikan kebutuhan manusia, maka kenapa kita membutuhkan sahabat dan salaf saleh dan mengikuti mereka?!

Dengan dalil-dalil yang bodoh ini Ibnu Jabhan menolak hadis ini.

a.2. Hadis kedua: "Saya tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrahku."

Dia mengatakan, "Hadis ini telah diselewengkan, yang benar adalah 'Kitab Allah dan sunahku'. Kalau pun seumpama hadis ini tidak diselewengkan, lantas siapa yang dimaksud dengan 'itrah yang diisyaratkan di dalam hadis ini."[155]

Dengan sangat mudah dia menolak hadis "Kitab Allah dan 'itrahku".

Pembahasan mengenai hal ini telah kita lakukan pada permulaan buku.

Sudah merupakan sesuatu jelas, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ilmu ushul, bahwa qadhiyyah (proposisi) tidak menetapkan maudhu'-nya. Hadis ini sedang dalam tataran menetapkan garis umum gadhiyyah, yaitu wajibnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Bait. Adapun pembicaraan mengenai apa itu Kitab Allah dan siapa itu 'itrah Ahlul Bait, tidak dapat diketahui dari hadis ini. Maka oleh karena itu diperlukan dalil lain, yang akan menjelaskan siapa keduanya yang dimaksud.

Bagaimana dia mengkritik hadis ini dengan mengatakan, "Siapa Ahlul Bait itu?!"

Pertanyaan ini seharusnya dia ajukan kepada Rasulullah saw.

a.3. Hadis ketiga: "Hai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang Mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik."

Ibnu Jabhan berkata, "Hadis ini maudhu' (palsu) dan sama sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidak bisa menjadi ukuran bagi keimanan. Karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya pasti mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, dan tidak akan terlepas darinya."

Pertama, kenapa dia mengecualikan Rasulullah saw? Jika yang menjadi ukuran ialah istitba' (hubungan keharusan), maka kecintaan kepada Allah mengharuskan juga kecintaan kepada Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang saleh.

Kedua, jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, maka kecintaan kepada orang-orang saleh juga mengharuskan kecintaan kepada Rasul-Nya dan kecintaan kepada Allah. Ini membuktikan kebenaran hadis ini. Karena hadis ini sedang menjelaskan bagaimana mengetahui orang munafik. Karena orang yang menampakan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dapat mengumumkan ketidak-cintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena jika tidak maka tentu dia tidak disebut orang munafik, namun dia bisa mengumumkan kebenciannya kepada siapa saja yang lain. Dan oleh karena Imam Ali as termasuk ke dalam kelompok orang yang saleh, maka siapa saja yang membencinya —berdasarkan hukum keharusan (istiba')— berarti dia membenci Allah dan Rasul-Nya. Sehingga dengan demikian hadis ini memberikan jikuran yang akurat di dalam mengenal orang-orang munafik.

Ketiga, jika yang menjadi slogan Anda ialah bahwa kecintaan dan kebencian bukan ukuran bagi keimanan dan keyakinan, lantas kenapa Anda mengkafirkan Syi'ah, kalau bukan karena kebencian mereka terhadap sebagian sahabat —sebagaimana persangkaan Anda?!

Kenapa Anda mencintai mereka dan mencintai salaf saleh, padahal di antara mereka ada yang dari kalangan Bani Umayyah dan Bani Abbas, dan Anda berjuang membela dan mempertahankan mereka?!

Bukankah Anda mengharapkan pahala dari yang demikian itu?!

Jika jawabannya tidak, maka seluruh perkataan Anda sia-sia dan hanya menghabiskan waktu.

a.4. Hadis keempat: "Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya."

Ibnu Jabhan berkata, "Sesungguhnya bunyi teks hadis menunjukkan kebodohannya dan kebodohan orang yang menisbahkannya kepada Rasulullah saw. Karena jelas sekali ketidak-cocokkan antara kata "kota" dengan kata "ilmu", dan tidak ada keserasian sama sekali antara pemahaman kedua kata tersebut dengan lafazh keduanya. Jika dia mengatakan, 'Saya adalah lautan ilmu dan Ali adalah pantainya', maka itu jauh lebih layak."

Dia melanjutkan argumentasinya, "Kenapa Rasulullah saw menjadikan ilmu ini berada di sebuah kota dan menjadikan kuncinya berada di tangan Ali? Kenapa Rasulullah tidak menjadikan kota tersebut untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki?"

Inilah tingkat keilmuannya dan batas akhir argumentasinya. Yaitu dia berargumentasi dengan adanya kontradiksi di antara kata "kota" dan kata "ilmu". Hadis di atas secara khusus tidak sedang mendefinisikan ilmu, sehingga harus mengatakan "laut".

Melainkan hadis di atas hendak menjelaskan hubungan antara ilmu dengan Ali as. Yang menjadi perhatian hadis ini ialah hubungan secara umum di antara keduanya, maka perumpamaan kota lebih jelas disebabkan tidak dapatnya seseorang memasukinya kecuali melalui pintunya.

Adapun perkataan Ibnu Jabhan yang menyebutkan, "Kenapa Rasulullah saw tidak menjadikan kota itu untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang untuk memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki", maka jawabannya cukup dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)

Inilah metode yang digunakannya, yang menunjukkan kepada permusuhannya yang sangat kepada Rasulullah saw dan 'ltrah Ahlul Baitnya yang suci. Dengan pemikiran yang dangkal ini dan dengan dalil-dalil yang lucu, dia berusaha menafikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, dan sebaliknya dia mensahihkan seluruh riwayat yang lemah dan hadis-hadis yang tertolak, baik dari sisi matan dan sanad, hanya karena hadis-hadis tersebut menetapkan keutamaan salah seorang salaf.

Wahai para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, apakah Anda menerima orang yang seperti ini sebagai salah seorang ulama dari Anda, yang membela Anda dan mengakui mewakili Anda. Jika "iya", maka salam atas Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dan jika tidak, maka kenapa Anda tidak memprotes dan menghentikannya. Buku yang ada di tangan saya ini merupakan cetakan ketiga. Mungkin saja buku ini telah dicetak berpuluh-puluh kali. Maka oleh karena itu, hentikanlah!

Sangat disayangkan sekali pada buku tersebut tertulis kata-kata "Buku ini dicetak dengan ijin dari kepala kantor pengkajian ilmiah, pemberian fatwa, dakwah dan penerangan".

Subhanallah, sebuah nama yang bertentangan sama sekali dengan buku ini. Pengkajian ilmiah apa, padahal dia tidak mengkaji isi buku ini sendiri. Jika tidak, maka dinisbahkan juga kepadanya apa yang telah dinisbahkan kepada penulisnya, yaitu berupa kebodohan, sedikitnya pemahaman, penyelewengan dan pemalsuan kebenaran. Karena pengakuan terhadap sesuatu berarti pembenaran terhadapnya.

Dakwah apa, dan penerangan apa?!

Kecuali jika dakwah tersebut dakwah kepada perpecahan dan per-selisihan, dan penerangan kepada pertentangan-pertentangan yang mendatangkan cela ini. Sampai kapan paham Wahabi akan hidup di dalam pertentangan ini. Ketika Dr. Turabi mendhaifkan hadis "lalat" dengan dalil-dalil yang logis dan argumentasi-argumentasi yang ilmiah, dengan serta merta mereka menghunuskan pedang terhadapnya dan memfatwakan kekafirannya. Namun tatkala Ibnu Jabhan mendhaifkan berpuluh-puluh hadis sahih dan mutawatir di sisi Anda, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang demikian itu tidak mengusik ketenangan mereka!

b. Contoh-Contoh Kebohongan Yang Dibuatnya Atas Syi'ah:

b.1. Dia berkata pada halaman 494 dari bukunya, "Sebagai tambahan dari itu, bahwa azan mereka berbeda dengan azan kita, salat mereka berbeda dengan salat kita, puasa mereka berbeda dari puasa kita, dan mereka tidak mengakui zakat dan para mustahik-nya."

b.2. Dia berkata pada halaman 495 dari bukunya, "Mereka meyakini bahwa mereka tidak akan disiksa karena dosa besar dan dosa kecil mereka. Mereka mengatakan bahwa orang selain mereka akan kekal di dalam neraka. Kemudian, mereka membolehkan meminjamkan kemaluan wanita, mereka menggugurkan salat Jumat, salat berjamaah dan hudud, dengan alasan ghaibnya Imam. Mereka menamakan umat Muhammad sebagai umat yang terkutuk. Serta mereka meyakini bahwa melaknat sahabat dan para Ummul Muk-minin sebagai sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."

b.3. Dia menyebutkan di dalam halaman 222, "Mungkin para pembaca yang mulia tidak akan percaya bahwa menikahi ibu dalam pandangan mereka adalah termasuk berbuat kebajikan kepada orang tua, dan merupakan sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."

b.4. Dia juga menyebutkan, "Orang Syi'ah menyodorkan tangannya mengajak Anda bersalaman, namun itu dilakukannya untuk membuat Anda lengah sementara dia memasukkan tangan yang satunya lagi ke dalam kantong Anda."

b.5. Pada halaman 58 dia mengatakan, "Orang Syi'ah mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan pada hari-hari Asyura, maka dia itu sayyid. Demikian juga setiap anak yang dikandung oleh ibunya pada hari-hari Asyura maka dia itu sayyid, meskipun kandungan itu berasal dari hubungan yang tidak sah." Bahkan, dia tidak cukup sampai di sini. Dia memanjangkan lidahnya terhadap Imam Ja'far ash-Shadiq as, putra Rasulullah saw, yang diyakini oleh sekelompok kaum Muslimin sebagai Imam yang maksum, sementara sekelompok kaum Muslimin yang lain meyakininya sebagai kampiun ilmu dan ulama. Para Imam mazhab yang empat telah berhutang kepadanya dengan keutamaan-keutamaannya.

Sejarah belum pernah menyebutkan kepada kita ada orang yang mencelanya, meskipun dari kalangan orang-orang yang memusuhinya. Hingga datang Ibnu Jabhan berkata tentangnya, "Sesungguhnya perkataan Ja'far yang berbunyi 'Barangsiapa yang menginginkan dunia maka dunia tidak akan memuaskanmu dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka akhirat tidak akan menjagamu’ adalah perkataan orang yang unggul di dalam cara-cara bersilat lidah dan orang yang terampil memainkan teknik-teknik Dajjal. Jika perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama rajanya' itu benar, maka tentu benar pula perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama imam mereka'. Oleh karena Anda adalah duplikat yang sesuai dengan aslinya (yaitu Ja'far), yang Anda akui sebagai pendiri besar seluruh keyakinan-keyakinan Anda."[156]

Lihatlah, sejauh mana kebencian dan permusuhan dia kepada Ahlul Bait Rasulullah.

b.6. Cara ini bukan merupakan hasil ciptaan Ibnu Jabhan. Sebelumnya, Ustaznya pun telah mendahuluinya dengan cara-cara yang seperti ini, yaitu pendiri ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Di dalam sebuah risalahnya yang berjudul fi ar-Radd 'ala ar-Rafidhah, halaman 34 dia mengatakan, "Mereka membolehkan nikah mut'ah, dan bahkan menjadikannya lebih baik dari tujuh puluh kali nikah permanen. Syeikh mereka yang bernama Ali bin al-'Ali telah membolehkan dua belas orang dari mereka menikahi mut'ah seorang wanita dalam satu malam. Jika lahir seorang anak dari hasil hubungan mereka, maka dilakukan undian di antara mereka, dan orang yang keluar nomer undiannya, maka anak itu menjadi miliknya."

b.6. Dalam halaman 44 dari bukunya dia mengatakan, "Orang-orang Yahudi telah dirubah menjadi monyet dan babi. Juga telah dinukil bahwa yang demikian pun telah terjadi pada sebagian orang rafidhi (Syi'ah) di kota Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya. Bahkan dikatakan bahwa mereka telah berubah wajah dan rupanya tatkala mati. Wallahu A'lam."

Inilah cara mereka di dalam menjawab Syi'ah. Dalil-dalil mereka tidak keluar dari dongeng-dongeng seribu satu malam.

4. Adapun kebohongan-kebohongan Ahmad Amin di dalam kitab Dhuha al-Islam, kita maafkan dan tidak akan kita sebutkan. Terutama setelah sampai kepada kita permohonan maafnya atas apa yang telah ditulisnya tentang Syi'ah. Yang demikian itu telah disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, di dalam kitabnya Ashl asy-Syi'ah wa Ushuluha, halaman 72,

"Termasuk sesuatu yang jarang terjadi, Ahmad Amin, setelah beredar bukunya dan setelah beberapa orang ulama Najaf mendatanginya, pada tahun 1349 Hijrah dia mendatangi Kota Ilmu, Najaf, dan berkesempatan menziarahi makam-makam suci yang ada di kota tersebut, bersama rombongan dari Mesir yang kira-kira terdiri dari 30 orang guru dan murid. Mereka mengunjungi kami di Universitas kami. Pada suatu malam dari malam-malam bulan Ramadhan, mereka menghadiri sebuah acara perayaan kami yang penuh sesak. Di situ kami mengkritiknya secara halus, dan sekaligus memaafkan atas apa yang telah dilakukannya. Kami ingin berjalan bersamanya dengan terhormat, dan mengucapkan salam kepadanya. Adapun alasan terbesar yang dia ajukan dalam masalah penulisan bukunya ialah karena sedikitnya informasi dan referensi yang dia miliki. Namun kita katakan, 'lni juga tidak mencukupi. Karena orang yang hendak menulis tentang sesuatu tema, maka pertama-tama dia harus mengumpulkan referensi dalam jumlah yang cukup, dan kemudian meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan jika tidak, maka tidak boleh baginya menyelami tema tersebut dan berbicara tentangnya. Bagaimana bisa perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, salah satunya adalah perpustakaan kami, mencakup kurang lebih 5000 judul buku, yang sebagian besarnya terdiri kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan itu pun terletak di kota Najaf, sebuah kota yang fakir dari segala sesuatu, kecuali ilmu dan kesalehan -InsyaAllah; sementara perpustakaan-perpustakaan Kairo yang besar, tidak memiliki buku-buku Syi'ah kecuali hanya sedikit sekali."

Benar, kaum tersebut tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Syi'ah, namun mereka menulis segala sesuatu tentangnya.•

0 comments:

Surah Al-Asr

"Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu di dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman, beramal soleh dan berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan kesabaran."


Demi Masa

Maqam Junjungan Besar Nabi Muhammad saw

Maqam Junjungan Besar Nabi Muhammad saw
Allahumma solli a'la Muhammad, wa ali Muhammad

 

Design by Amanda @ Blogger Buster