Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan adanya Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang sah tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak dapat diangkat kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi dawr (berputar), dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang sah dilaksanakan kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak mungkin ada kecuali setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti perkara ini bergantung kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan mungkin musyawarah yang sah terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan bahwa di sana ada seorang wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang keberadaannya lebih dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti penerimaan terhadap "pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah Ahlul Bait.
Mungkin ada orang yang mengatakan tidak wajib adanya wali amri di dalam musyawarah, melainkan cukup dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika Anda membantah dengan mengatakan bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak orang yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa dia itu wali amri di dalam musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa kata in 'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti berbulat hati untuk melaksanakan hasil musyawarah.
Sesungguhnya zahir ayat di atas tidak demikian. Karena yang paling tampak dari ayat ini ialah tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya. Dengan kata lain, sesungguhnya perkataan di atas baru dikatakan benar jika pendapat orang-orang yang bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat orang-orang yang bermusyawarah itu ber-macam-macam, bagaimana musyawarah dapat mengambil keputusan?
Jika orang itu mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana dalilnya? Justru Allah SWT sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak ayatnya, "... kebanyakan orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan kamu." Bahkan, perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang menyerahkan urusan pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah manakala terjadi perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang itu telah keluar dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang wali di dalam musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang ber-musyawarah sepakat atas suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak untuk menetapkan atau tidak menetapkannya.
Dari pembahasan di atas menjadi jelas bahwa pandangan musya-warah berada di antara dua jalan buntu:
1. Musyawarah dapat dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulul amri. Musyawarah yang seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat yang mengatakan mungkinnya dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulil amri memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama yang menunjukkan kepada hal itu.
2. Atau, musyawarah dilakukan dengan adanya wali amri yang dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan ini dapat dibayangkan dalam beberapa bentuk:
a. Wali amri sendiri menobatkan dirinya sebagai wali amril Muslimin. Cara yang seperti ini tentunya sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama. Ini merupakan sebuah perampasan tidak sah terhadap hak-hak kaum Muslimin, sehingga bagaimana bisa ketaatan kepadanya menjadi wajib atas seluruh kaum Muslimin.
b. Atau, adanya sekelompok kecil orang yang mengurusi urusan kaum Muslimin. Di sini pun kita tetap terperosok ke dalam dua jalan buntu yang telah kita bicarakan. Dalam bentuk ini kita akan tetap jatuh kepada pertanyaan, alasan syariat yang mana yang membenarkan kita mentaati mereka, dan mana dalilnya?!
c. Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan seseorang sebagai wali amri. Maka di sini tidak diperlukan lagi musyawarah, disebabkan tidak mungkin menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Pandangan ini sendiri adalah pandangan nas atau pandangan wasiat, sehingga dengan begitu ternafikanlah pandangan musyawarah. Dan sebagai konsekwensinya adalah batalnya kekhilafahan pertama.
Dengan penjelasan-penjelasan ini menjadi jelas batalnya pandangan musyawarah di dalam menentukan khilafah dari semua segi, sehingga kita layak memalingkan tema musyawarah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim kepada tema-tema selain pengangkatan wali amril Muslimin, seperti musyawarah mengenai cara-cara penerapan hukum, strategi peperangan dan sebagainya, sebagai-mana yang menjadi konteks ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu. "
Tidak tersisa lagi pintu bagi mereka, kecuali jika mereka mengklaim bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengangkat dan menetapkan kekhilafahan pertama (kekhilafahan Abu Bakar). Namun, Abu bakar sendiri tidak mengklaim hal itu. Karena jika Abu Bakar mengklaim hal itu, maka tentu dia akan berhujjah dengannya kepada orang-orang Anshar pada saat di Saqifah.
Salah satu hal lain yang juga jelas diketahui dari ayat syura ialah bahwa Allah SWT tidak mempercayai mereka dalam masalah strategi perang, yang masih merupakan sesuatu yang berada di dalam ruang lingkup sesuatu yang dapat dimusyawarahkan —sebagaimana yang dapat dipahami dari konteks ayat, dan— apalagi mempercayai mereka dalam sebuah urusan yang lebih besar, yaitu memilih khalifah pengganti Rasulullah saw. Jika Anda tidak mempercayai seseorang untuk mengelola uang seratus dinar, maka bagaimana mungkin Anda mempercayainya untuk mengelola uang seribu dinar.
Kemudian, bagaimana mungkin masuk akal Allah SWT menyerahkan kepada umat untuk memilih sendiri khalifahnya, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya saw telah mengetahui akan terjadinya pembelotan langsung setelah wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)?..." Jika Anda memperhatikan ayat ini dengan seksama niscaya akan jelas bagi Anda bahwa orang-orang yang diseru di sini adalah orang-orang Muslim. Karena tidak ada artinya pembelotan orang kafir, dan juga tidak bisa pembelotan ini diterapkan kepada Musailamah al-Kadzdzab, karena pembelotannya terjadi pada masa Rasulullah saw.
Tidak masuk akal jika Allah SWT dan Rasul-Nya membiarkan urusan ini menjadi sia-sia di tengah-tengah kaum Muslimin, padahal Dia tahu akan terjadi berbagai fitnah di antara kaum Muslimin apabila tidak ditentukan pemimpin yang akan menjadi rujukan mereka. Sejarah menjadi saksi akan hal itu, di mana ketiadaan wali amri telah menyebabkan timbulnya berbagai fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Penyimpangan ini terus berlanjut hingga orang-orang yang fasik, orang-orang yang berbuat kerusakan, dan orang-orang yang tidak mempunyai rasa malu, akhlak dan agama, berkuasa atas kaum Muslimin. Untuk menambah keyakinan Anda, silahkan putar balik jarum jam Anda mulai dari empat belas abad yang lalu, lalu silahkan berhenti sejenak pada masa dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang memerintah manusia selama periode tertentu, supaya Anda dapat mengenal para penguasa mereka dan bagaimana mereka secara terang-terangan meminum khamar, dan bagaimana mereka bermain dengan anjing dan kera, setelah terlebih dahulu binatang-binatang itu dikenakan baju sutera yang halus dan perhiasan emas; dan perbuatan-perbuatan keji lainnya yang dilakukan para penguasa, yang sejarah pun merasa malu untuk mencatatnya.
Ini merupakan salah satu bukti yang menunjukkan kejelekan-kejelekan konsep "pemilihan" dan sekaligus kemandulan konsep ini sejak dari dasarnya. Karena, orang yang kita pilih hari ini mungkin saja kita benci keesokan harinya, namun kita tidak mampu menurunkannya setelah menempatkan dia sebagai pemimpin. Kaum Muslimin telah berusaha mengerahkan segenap usahanya untuk menurunkan Usman, namun Usman enggan turun dengan mengatakan, "Saya tidak akan melepaskan pakaian yang telah Allah SWT kenakan kepada saya."
Setelah kita membuktikan kelemahan dua dalil yang telah dikemukakan kelompok pertama, yang telah menjadikan konsep musyawarah sebagai pilar dasar di dalam memilih khalifah yang akan mengurusi urusan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah saw, dan setelah jelas bagi kita jauhnya kedua dalil tersebut dari maqam khilafah dan kepemimpinan, kita kembali memejamkan mata dari kenyataan ini dan tetap saja tunduk dan menerima kedua dalil dalam masalah khilafah dan kepemimpinan ini, serta pura-pura tidak tahu akan penyimpangan-penyimpangan yang dimiliki keduanya.
Apakah sikap pura-pura tidak tahu dan penerimaan akan kemandulan pandangan ini akan dapat menyelesaikan ketidak-jelasan peraturan di dalam semua hal yang berkaitan dengan cara pelaksanaan kandungannya? Kedua dalil ini tidak dapat meluruskan kebengkokan dan menutupi celah-celah kekurangan konsep ini. Karena konsep ini membutuhkan pembatasan dan perincian akan maknanya. Kedua nas yang diisyaratkan di atas, juga kehilangan ukuran-ukuran musyawarah dan cara-cara pengoreksiannya, di samping konsep ini juga memerlukan alat-alat pelaksanaan di dalam penerapannya.
Kita tidak mendapati di dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat serta di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengemukakan konsep ini dan mengharuskan umat untuk melaksanakannya. Jika Rasulullah saw telah melakukan yang demikian, maka tentu kita mendapati Rasulullah saw telah menetapkan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang hal itu, atau tentunya telah membiasakan hal itu di tengah-tengah umatnya guna mempersiapkan mereka, baik dari segi pemikiran, kejiwaan dan politik, supaya bisa melaksanakan konsep ini.
Atau setidaknya beliau telah mempersiapkan beberapa contoh figur yang cakap untuk memegang kepemimpinan percobaan dan pengawasan terhadap syariat dan pelaksanaannya. Namun, sebagaimana yang telah kita kemukakan, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian itu.
0 comments:
Post a Comment