BAB 6
Musyawarah dan Kekhilafahan Islam
Pertama:
PEMBAHASAN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH
Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan imam dan khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dan pencrapaan lapangan dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada jaman sckarang perbedaan tersebut hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak melampaui tingkat pertengkaran ucapan dan argumentasi teoritis.
Partisipasi kita di dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah dengan cara kita akan mendiskusikan penunjukkan (dilalah) ayat-ayat musyawarah (syura) yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan Ahlus Sunnah di dalam pandangan mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji musyawarah dalam tataran kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan sekaligus ber-bagai peristwa yang terjadi sesudahnya.
Allah SWT berfirman,
"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS. asy-Syura: 38)
Kalangan Ahlus Sunnah, di dalam masalah kekhilafahan bersandar kepada konsep syura. Mereka mengatakan bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak dapat ditentukan kecuali melalui musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan kekhilafahan Abu Bakar, yang terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua, yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa masalah kekhilafahan harus ditentukan dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak ada jaminan terpilihnya orang yang paling layak berdasarkan pandangan pertama. Hal itu dikarenakan masalah musyawarah sangat dipengamhi dengan pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan kejiwaan mereka dan juga afiliasi mereka kepada keyakinan, sosial dan politik tertentu. Di samping itu, musya-warah juga membutuhkan tingkat ketulusan, objektifitas dan keter-bebasan dari berbagai pengaruh yang disadari maupun yang tidak disadarl. Oleh karena itu, mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah harus mempunyai wasiat yang jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka mengatakan Rasulullah saw telah menetapkan khalifah dan bahkan khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar itu, mereka meyakini kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema permasalahan yang khusus berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan hukum, bukan berkaitan dengan penentuan hakim (pemimpin), yang merupakan kedudukan Ilahi.
Oleh karena perbedaan tersebut hanya terbatas di antara dua pandangan ini, maka kebatilan salah satunya akan membuktikan kebenaran yang lainnya, dan sebagai akibatnya membuktikan kebenaran atau kebatilan kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain yang menggantikannya atau khalifah itu Ali dan para washi yang menggantikannya.
Kita telah membuktikan pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak meninggalkan keraguan sedikit pun, akan kebenaran pandangan yang mengatakan lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan hak yang khusus bagi mereka dan tidak bagi selain mereka. Namun, untuk lebih menyempurnakan faidah dan menjelaskan hakikat, mau tidak mau kita harus mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai semata-mata sebuah konsep, dan sampai sejauh mana kelayakannya di dalam masalah pemilihan khalifah kaum Muslimin.
Kalangan pendukung konsep musyawarah, di dalam menegakkan pandangannya sangat bersandar kcpada ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat tersebut menjadi pokok pembahasan di dalam bab ini.
Jika kita mengkaji ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita bahwa konsep musyawarah Islam tergambar dalam dua bentuk:
1. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan yang bersifat parsial, di dalam konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna penyapihan anak yang masih menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat, "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan pertengkaran, dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.
2. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, Seperti mengumumkan perang terhadap musuh atau memilih khalifah kaum Muslimin.
Tidak diragukan, bahwa dalam masalah yang seperti ini kaum Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah saw. Karena tidak lah logis sebuah musyawarah terlaksana dengan tidak ada pendapat Rasulullah saw di dalamnya. Bahkan, termasuk buruk dalam pandan-gan umum ('urf) dan pembangkangan menurut syariat jika sebuah musyawarah dilakukan dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT berfirman, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)
Jenis musyawarah ini berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." mempunyai tiga rukun:
1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun".
2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana.
3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.
Tidak mungkin musyawarah yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat terlaksana dengan tidak adanya salah satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa saja wali aniri ada, orang yang bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak ada, maka di sini musyawarah tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak ada permasalahan yang dapat mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa juga wali amri ada, tema musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan bermusyawarah tidak ada, maka di sini berubah status dari musya-warah kepada nas atau perintah.
Atau juga, kumpulan manusia yang bermusyawarah ada, tema musyawarah ada, namun wali amri tidak ada, maka di sini musyawarah tidak berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya pengawas atas musyawarah, yang menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika masing-masing dari mereka mengeluarkan pandangannya, maka dia (wali amr) harus menjadi rujukan seluruh pandangan.
Musyawarah yang tidak sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sah dan mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena musyawarah ini bertentangan dengan apa yang telah ditekankan oleh ayat bahwa pada akhirnya urusan bcrgantung kepada wali amri, "Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah."
Mungkin saja ada orang yang membantah dan berkata bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan rnereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." adalah khusus untuk Rasulullah, sehingga tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam musyawarah; dan tidak ada halangan musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya wali amri, berdasarkan petunjuk ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Karena di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali amri yang berketetapan hati dan bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat yang pertama.
Bantahan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:
1. Sesungguhnya seluruh yang tertelapkan bagi Rasulullah saw, seperti hak ketaatan, juga tertetapkan bagi wali amri, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu." Dengan begitu menjadi jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri adalah jenis kctaatan yang sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan adanya athaf secara pasti, sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata "taatilah") untuk keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu... " Jika seandainya digunakan kata "athi'u" untuk ketiga kalinya bagi ulil amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di sana terdapat perbedaan di antara dua ketaatan tersebut.
2. Sesungguhnya tata cara musyawarah yang telah Allah tetapkan dalam urusan-urusan umum yang berhubungan dengan seluruh kaum Muslimin adalah satu, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudianjika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." Sehingga penggunaan tata cara lain menuntut adanya dalil syariat yang menghasilkan perkara-perkara syariat, seperti kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan oleh musyawarah ini. Dan berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua dari musyawarah tidaklah sempurna.
Karena perkataan ini mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Dalam arti, ayat ini turun pada saat Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya melarang kaum Muslimin bermusyawarah tentang suatu urusan umum yang menyangkut urusan seluruh kaum Muslimin dengan tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara niereka dan dengan tanpa merujuk kepada beliau. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada di tengah mereka ialah, bahwa kata ganti hum (mereka) di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka " mencakup Rasulullah saw. Di samping itu, sesungguhnya konteks ayat di atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin yang menang, "Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi rnaaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan merteka menafkahkan sebagian reieki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. asy-Syura: 36-38)
Tidak diragukan bahwa seutama-utamanya ekstensi (mishdaq) orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw. Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw adalah salah seorang dari mereka. Jika telah terbukti bahwa Rasulullah saw termasuk bagian dari musyawarah ini, maka tentu Anda tahu bahwa urusan musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada Rasulullah saw, dan tentunya musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan ketetapan hati beliau, "Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka bertawakallah kepada Allah."
Dengan demikian, sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara yang pertama. Seluruh yang terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan mujmal, sedangkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah" adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.
Setelah saya menjelaskan ini, dengan segera saya menambahkan bahwa kita akan sampai kepada hasil yang terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka..." ini hanya khusus untuk Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil amri. Karena jika demikian musyawarah tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya Rasulullah. Dan jika Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak ada musyawarah, disebabkan tidak adanya salah satu rukun dasar di dalam musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun jika kita me-ngatakan ayat ini tidak hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw saja, maka berarti kita mengatakan ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga dengan begitu musyawarah tetap ada dan sah dengan syarat adanya wali amri di dalamnya. Dan wali amri memiliki hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di dalam musyawarah, karena dia menempati tempat Rasulullah. Sehingga dengan demikian, makna "Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan permusyawatan di antara mereka' ialah mereka tidak dapat menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di dalam urusan-urusan agama yang mereka perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)."
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di dalam pengangkatan khalifah menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya pandangan tersebut. Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya khusus untuk Rasulullah saw, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang diselenggarakan untuk meng-angkat khalifah pertama itu dilakukan setelah wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan begitu tentunya dia merupakan musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan pandangan Al-Qur'an, dan dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang dihasilkan darinya adalah tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan khalifah pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab hadis tentang tata cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan dengan Saqifah Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di dalam kitab sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih Bukhari, di dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil perbuatan zina, dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari juga merekam peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah lainnya.
0 comments:
Post a Comment