Sejenak Bersama Para Imam Mazhab Yang Empat
Sesungguhnya pengkajian tentang sejarah para Imam mazhab yang empat sangat sulit sekali. Karena berita-berita yang datang tentang mereka, kalau tidak berasal dari orang-orang yang fanatik dan berlebih-lebihan terhadap mereka, maka berasal dari musuh-musuh mereka yang senantiasa menyerang mereka. Kita sulit mendapatkan pandang-an yang objektif di antara kedua garis yang saling berlawanan ini.
Ahmad Amin berkata, "Kefanatikan mazhab telah memaksa sebagian pengikut masing-masing mazhab membuat berita-berita yang meninggikan kedudukan imam mereka. Salah satu di antaranya ialah dengan cara mereka meriwayatkan hadis-hadis pemberian kabar gembira dari Rasulullah saw bagi masing-masing imam. Sebagai contoh, mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda tentang penduduk Irak, "Sesungguhnya Allah telah meletakkan khazanah-khazanah ilmu-Nya pada mereka (orang-orang Irak)." Contoh lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Nu'man bin Tsabit, dan diberi julukan dengan sebutan Abu Hanifah. Kelak Allah menghidupkan sunahku di dalam Islam dengan perantaraan ke-dua tangannya." Bahkan, mereka sampai menganggap Abu Hanifah telah diberitakan di dalam Kitab Taurat. Demikian juga yang dilakukan oleh sebagian pengikut Syafi’i terhadap Syafi’i dan sebagian pengikut Maliki terhadap Malik. Semua itu tetap belum memuaskan mereka. Oleh karena itu, sangat sulit bagi seorang pengkaji untuk mengetahui sejarah yang sebenarnya berkenaan dengan masing-masing imam. Karena setiap kali datang generasi baru, mereka menambahkan lagi tentang keutamaan-keutamaan imamnya.[167]
Abu Hanifah sendiri saja telah memperoleh keutamaan-keutamaan ini dalam jumlah sekumpulan kitab. Kita akan sebutkan beberapa darinya. Sebagai contoh, kitab 'Uqud al-Marjan fi Manaqib Abi Hanifah an-Nu'man, karya Abi Ja'far ath-Thahawi, kitab Managib Abi Hanifah, karya al-Kharazmi, kitab al-Bustan fi Managib an-Nu'man, karya Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir bin Abi al-Wafa, kitab Syaqa'iq an-Nu'manfi Manaqib an-Nu'man, karya Zamakhsyari, dan kitab-kitab lainnya. Ini semua, kalau pun menunjukkan sesuatu maka itu semata-mata menunjukkan tingkat kefanatikan dan sikap berlebih-lebihan terhadap Abu hanifah, serta perselisihan dan pertengkaran mengenai seputar mazhab dan para imam mereka. Karena jika tidak, lalu untuk apa penulisan semua kitab ini, yang para Khulafa Rasyidin pun tidak memperoleh kemanjaan yang seperti ini?!
Dari di antara dua garis yang bertentangan ini kita berusaha me-nyingkap pendapat yang objektif tentang seputar sejarah mazhab yang empat, berikut dengan kejadian-kejadian yang melingkupinya.
1. IMAM ABU HANIFAH
Kemunculan Abu Hanifah
Dia adalah Nu'man bin Tsabit. Dia lahir pada tahun 80 Hijrah, pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan. Dia meninggal dunia pada tahun 150 Hijrah. Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah pada masa kekuasaan Hajjaj. Pada masa itu Kufah merupakan salah satu kota besar Irak, yang berkembang di dalamnya berbagai majlis ilmu. Suasana saling berlawanan dan berbagai pendapat yang saling ber-tentangan di dalam masalah politik, ilmu dan keyakinan, yang terjadi pada masa itu, mengundang kebingungan. Pada suasana yang seperti ini Abu Hanifah cemerlang di dalam bidang ilmu kalam, diskusi dan perdebatan. Kemudian dia pindah ke majlis fikih, hingga mengkhusus-kan diri kepadanya. Dia berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, yang meninggal pada tahun 120 Hijrah. Setelah Hammad bin Abi Sulaiman meninggal dunia, reputasi dan nama Abu Hanifah menjadi terkenal. Dia juga berguru kepada guru-guru yang hidup pada zaman-nya. Dia menghadiri pelajaran 'Atha bin Rabah di Mekkah, pelajaran Nafi —bekas budak Ibnu Umar— di Madinah, dan guru-guru yang lainnya. Namun dia banyak berteman dengan Hammad bin Sulaiman. Abu Hanifah telah meriwayatkan dari Ahlul Bait, seperti Imam Muhammad al-Baqir dan anaknya Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Fikih Abu Hanifah
Abu Hanifah tidak diketahui mempunyai fikih yang khusus kecuali melalui murid-muridnya. Dia sendiri tidak pernah menulis sesuatu tentang fikih, dan tidak pernah membukukan sedikit pun pendapat-pendapatnya. Abu Hanifah mempunyai murid yang banyak, namun mereka yang mengemban dan menyebarkan mazhabnya ada empat orang. Mereka itu adalah Abu Yusuf, Zufar, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan Hasan bin Ziyad al-Lu'lu'i .
Abu Yusuf—yaitu Ya'qub bin Ibrahim— telah memainkan peranan yang besar di dalam menyebar-luaskan mazhab Hanafi. Dia telah memperoleh penerimaan di kalangan para khalifah Bani Abbas, dan menduduki posisi hakim agung pada masa kekuasaan al-Mahdi, al-Hadi dan Harun ar-Rasyid. Pada masa Harun ar-Rasyid dia memperoleh posisi yang amat kuat. Maka Abu Yusuf menggunakan kedudukannya ini untuk memberlakukan dan menyebar-luaskan mazhab Hanafi ke seluruh penjuru negeri, melalui tangan-tangan hakim yang ditunjuknya dari kalangan para sahabatnya. Sehingga dengan begitu dapat kita katakan bahwa tersebarnya mazhab Hanafi dikarenakan bantuan pengaruh kekuasaan. Ibnu Abdul Barr mengatakan tentang itu, "Abu Yusuf adalah hakim pada masa pemerintahan tiga khalifah. Dia menduduki posisi hakim agung pada sebagian masa pemerintahan al-Mahdi, kemudian pada masa pemerintahan al-Hadi dan juga pada masa pemerintahan ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid amat menghormati dan memuliakannya. Dia mempunyai kedudukan yang kuat di sisi Harun ar-Rasyid. Oleh karena itu, dia mempunyai tangan yang panjang di dalam menyebarkan nama Abu Hanifah dan meninggikan kedudukannya.[168]
Murid Abu Hanifah yang bernama Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, turut serta mempunyai andil di dalam menyebarkan mazhab Abu Hanifah melalui kitab-kitab tulisannya, yang kelak menjadi rujukkan pertama bagi fikih Abu Hanifah. Di samping itu, dia juga berguru kepada ats-Tsauri, al-Awza'i dan Malik; serta dia memasukkan hadis ke dalam fikih ahli ra'yu.
Adapun Zufar bin Huzail adalah termasuk sahabat Abu Hanifah yang paling dulu. Dia turut menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan lidahnya. Dia menjadi hakim pada zaman Abu Hanifah di kota Basrah. Dia seorang yang sangat berpegang kepada qiyas, hingga Ahmad bin Mu'addil al-Maliki mengejeknya dengan sebuah syair,
"Jika kamu berbohong dengan apa yang kamu katakan kepadaku
maka atasmu dosa Abu Hanifah atau Zufar
yang menggunakan qiyas secara sengaja
dan berpaling dari berpegang kepada khabar."
Satu hal yang aneh, bahwa para ulama yang mengukuhkan mazhab Hanafi dan membukukannya bukanlah orang-orang yang bertaklid kepada Abu Hanifah di dalam pandangan-pandangannya. Melainkan mereka adalah ulama-ulama yang bebas, yang dalam beberapa hal sepakat dengan gurunya, Abu Hanifah, namun dalam beberapa hal lain menentangnya. Oleh karena itu, kita mendapati kitab-kitab mazhab Hanafi memuat empat pendapat di dalam satu masalah. Yaitu pendapat Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, pendapat Muhammad asy-Syaibani dan pendapat Zufar.
Allamah Khudhari berkata, "Sebagian kalangan Hanafi telah berusaha menjadikan pendapat-pendapat mereka yang berbeda menjadi pendapat Abu Hanifah. Namun ini merupakan kelalaian yang sangat akan sejarah para imain mereka ini, dan bahkan kelalaian akan apa-apa yang tertulis di dalam kitab-kitab mereka. Karena Abu Yusuf menyebutkan pendapat Abu Hanifah di dalam kitabnya al-Kharaj, dan kemudian secara tegas menyebutkan pendapatnya dan mengatakan bahwa dia berbeda pendapat dengannya. Terkadang dia mengakui pendapat Abi Laila, setelah menyebutkan dua pendapat. Demikian juga Muhammad asy-Syaibani, dia menceritakan di dalam kitabnya pendapat Imam Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, dan pendapatnya yang dengan jelas bertentangan dengannya.
Satu hal yang pasti bahwa Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani menarik kembali pendapat Abu Hanifah manakala mereka tahu pendapat penduduk Hijaz tentang hadis. Para peneliti sejarah menemukan bahwa para imam mazhab Hanafi, yang telah kita sebutkan setelah Abu Hanifah, mereka tidak bertaklid kepada Abu Hanifah."[169]
Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi tersebar dikarenakan usaha para sahabatnya. Di samping itu, para penguasa yang dekat dengan Abu Yusuf menolong mereka di dalam menyebarkan mazhab tersebut. Dengan demikian, maka mazhab Hanafi didirikan oleh sekumpulan para fukaha yang masing-masing mereka indefenden dengan dirinya, dan bukan berasal dari satu imam, yaitu Abu Hanifah. Sehingga usaha para pengikut Hanafi untuk mengembalikan semua pendapat kepada Abu Hanifah adalah sesuatu yang tidak dibolehkan.
Tikaman Pada Abu Hanifah.
Sebagian ulama yang adil yang hidup semasa dengannya, telah menuduh Abu Hanifah dengan tuduhan zindiq dan telah keluar dari jalan yang lurus, serta menyebutnya sebagai orang yang telah rusak akidahnya, telah keluar dari ajaran agama dan menentang Kitab dan sunah. Mereka menikam keberagamaan Abu Hanifah dan melucutinya dari iman."[170]
Telah sepakat Sufyan ats-Tsauri bersama Syarik, Hasan bin Shalih dan Ibnu Abi Laila, maka mereka pun pergi kepada Abu Hanifah. Mereka berkata, "Apa pendapat Anda tentang seseorang yang telah membunuh ayahnya, lalu menikahi ibunya dan meminum khamar di atas kepala mayat ayahnya?"
Abu Hanifah menjawab, "Dia orang Mukmin." Maka berkata Ibnu Abi Laila, "Saya tidak akan menerima kesaksian Anda selamanya."[171]
Ibrahim bin Basyar bercerita bahwa Sufyan bin 'Uyainah telah berkata, "Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berani terhadap Allah dibandingkan Abu Hanifah."[172]
Diceritakan, bahwa Abi Yusuf pernah ditanya, "Apakah Abu Hanifah seorang Murji'ah?"
Abu Yusuf menjawab, "Benar." Dia ditanya lagi, "Apakah dia seorang Jahmiyyah?" Dia menjawab, "Benar." Abu Yusuf ditanya lagi, "Bagaimana kedudukan Anda di sisinya?" Dia menjawab, "Abu Hanifah hanya semata-mata seorang pengajar. Apa saja perkataannya yang bagus, maka kami terima, dan apa saja perkataannya yang buruk, maka kami tinggalkan."'[173]
Inilah pandangan orang yang paling dekat dengannya, yang sekaligus sebagai murid dan penyebar mazhabnya. Apalagi pandangan orang lain.
Dari Walid bin Muslim yang berkata, "Malik bin Anas bertanya kepadaku, 'Apakah nama Abu Hanifah disebut-sebut di negerimu?' Aku menjawab, 'Ya.' Malik bin Anas berkata, 'Negerimu tidak layak untuk didiami.'"[174]
Al-Awza'i berkata, "Kita tidak membenci Abu Hanifah karena dia menggunakan qiyas, karena kita semua pun menggunakan qiyas. Kita membenci Abu Hanifah dikarenakan manakala hadis datang kepadanya dia menentangnya."[175]
Ibnu Abdul Barr berkata, "Salah seorang yang menikam dan mencelanya ialah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Dia berkata di dalam kitabnya adh-Dhu'afa wa al-Matrukun, 'Berkenaan dengan Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit al-Kufi, Na'im bin Hammad berkata, 'Yahya bin Sa'id dan Muadz bin Muadz berkata kepada saya, 'Kami mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata,
'Abu Hanifah telah diminta bertobat dari kekufuran sebanyak dua kali.' Na'im al-Fazari berkata, 'Saya pernah bersama Sufyan bin 'Uyainah, lalu dia mengkritik Abu Hanifah. Dia berkata, 'Abu Hanifah telah merobohkan Islam sedikit demi sedikit. Dan tidak ada anak yang dilahirkan di dalam Islam yang lebih jahat darinya.' Inilah yang disebutkan oleh Bukhari."[176]
Ibnu Jarud berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa wa al-Matrukun, "Sebagian besar perkataan Nu'man bin Tsabit adalah waham."
Dari Waqi'a al-Jarrah yang berkata, "Saya menemukan Abu Hanifah menyalahi dua ratus hadis Rasulullah saw."
Ada orang berkata kepada Ibnu al-Mubarak, "Orang-orang mengatakan bahwa Anda berpegang kepada perkataan Abu Hanifah." Ibnu al-Mubarak menjawab, "Tidak semua yang dikatakan oleh orang tentang dia itu benar. Dahulu, selama beberapa waktu kami suka mendatanginya, ketika kami belum mengenalnya."[177]
Tampak jelas bahwa pandangan mereka ini adalah pandangan objektif, dan bukan merupakan makian dan celaan yang keluar dari batas-batas yang wajar, melainkan merupakan kritikan-kritikan ilmiah terhadap Abu Hanifah. Dalam kesempatan ini kita telah memejamkan mata dari omongan-omongan musuhnya dan omongan-omongan para pengikutnya yang bersikap berlebihan. Kita mencukupkan diri dengan pandangan para ulama mengenainya, dan ini sudah cukup mencemar-kan pribadinya. Lalu, bagaimana mungkin dengan mudah dia bisa menjadi imam, padahal di tengah-tengah umat ada orang yang lebih layak darinya, baik dari segi fikih, ilmu dan keadilan?! Namun memang itulah yang dikehendaki politik .
Abu Hanifah Dan Imam Ja'far ash-Shadiq as
Abu Hanifah adalah seorang yang banyak berdebat dan kuat dalam berdiskusi. Khalifah Manshur bermaksud memanfaatkannya untuk menghantam Imam Ja'far ash-Shadiq as, yang harum namanya dan tinggi reputasinya. Khalifah al-Mansur kesulitan mengawasi majlis-majlis ilmu yang ada di kota Kufah, Mekkah, Madinah dan Qum, yang menyerupai cabang dari madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Oleh karena itu, al-Manshur terpaksa menarik Imam Ja'far ash-Shadiq as dari kota Madinah ke Kufah, dan meminta kepada Abu Hanifah untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, yang akan ditanyakan kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as di majlis terbuka, dengan maksud untuk menjatuhkan Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang lebih fakih dari Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Ketika al-Manshur mendatangkannya, al-Manshur menemui saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, orang-orang telah terpikat dengan Ja'far bin Muhammad. Oleh karena itu, siapkanlah pertanyaan-pertanyaan yang sulit baginya.' Maka saya pun menyiapkan empat puluh pertanyaan baginya.
Kemudian Abu Ja'far al-Manshur memanggil saya, dan saya pun datang menemuinya. Saya masuk ke majlisnya, sementara Ja'far bin Muhammad sedang duduk di sebelah kanannya. Ketika saya memandang ke arahnya, saya menjadi tertegun dengan wibawa Ja'far bin Muhammad, namun tidak tertegun sedikit pun dengan wibawa Abu Ja'far al-Manshur. Saya mengucapkan salam kepada Abu Ja'far al-Manshur, dan dia pun memberikan isyarat kepada saya, maka saya pun duduk. Kemudian dia menoleh ke arah Ja'far bin Muhammad seraya berkata, 'Wahai Aba Abdillah, ini adalah Abu Hanifah.'
Ja'far bin Muhammad menjawab, 'Ya, dia telah datang kepada kami', seolah-olah dia tidak suka apa yang dikatakan oleh kaumnya bahwa dia mengetahui seseorang tatkala melihatnya. Lalu al-Manshur menoleh ke arah saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, lontarkan pertanyaan-pertanyaanmu kepada Aba Abdillah.' Maka saya pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan saya kepadanya, dan dia menjawabnya satu demi satu. Dia berkata dalam jawabannya, 'Kamu berpendapat demikian, penduduk Madinah berpendapat demikian, sementara kami berpendapat begini. Terkadang pendapat kamu sama dengan kami, terkadang sama dengan pendapat mereka, dan terkadang pula tidak sama dengan keduanya.' Dia terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, hingga saya selesai melontarkan empat puluh pertanyaan." Kemudian Abu Hanifah berkata, "Bukankah kita telah mengatakan bahwa manusia yang paling pandai adalah manusia yang tahu akan perbedaan-perbedaan pendapat manusia."[178]
Imam Ja'far ash-Shadiq as melarang Abu Hanifah menggunakan qiyas, dan sangat keras mengingkarinya. Imam ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Telah sampai berita kepada saya bahwa kamu melakukan qiyas terhadap agama dengan pikiranmu. Jangan kamu lakukan itu, karena orang yang pertama kali menggunakan qiyas adalah Iblis."[179]
Abu Na'im berkata kepada kami, "Sesungguhnya Abu Hanifah, Abdullah bin Ubay Syibrimah dan Ibnu Abi Laila datang menemui Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Ibnu Abi Laila, "Siapa orang yang bersama kamu ini?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Dia orang yang mempunyai pandangan dan pengaruh di dalam agama."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kembali, "Sepertinya dia mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan pikirannya?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Benar."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Siapa namamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Nu'man."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata lagi, "Saya tidak melihat kamu sedang membaguskan sesuatu." Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as melontarkan beberapa pertanyaan kepada Abu Hanifah, namun Abu Hanifah tidak bisa menjawabnya.
Maka Imam Ja'far ash-Shadiq as pun menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Ya Nu'man, bapakku telah berkata kepadaku, 'Dari kakekku yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Orang yang pertama kali mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan ra'yu adalah Iblis.'
Allah SWT telah berkata kepadanya, 'Sujudlah kainu kepada Adam' Iblis menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.' Barangsiapa yang meng'iyaskan agama dengan pikirannya maka pada hari kiamat Allah SWT akan mengumpulkannya dengan Iblis. Karena dia termasuk pengikutnya.
Fakhrurrozi berkata, "Sungguh mengherankan, Abu Hanifah dipercayai sebagai ahli qiyas, dan para musuhnya mengecamnya dikarenakan banyak menggunakan qiyas, padahal belum pernah diceritakan oleh para sahabatnya bahwa Abu Hanifah telah menulis satu lembar kertas saja untuk membuktikan qiyas, serta tidak pernah disebutkan bahwa dia menyebutkan sebuah kritikan di dalam pernyataannya, apalagi menyebutkan sebuah hujjah. Dia juga tidak pernah menjawab dalil-dalil lawannya yang mengingkari qiyas. Bahkan, orang yang pertama kali berbicara dalam masalah ini, dan mengemukakan ber-bagai argumentasi mengenainya adalah asy-Syafi’i."[180]
Oleh karena itu, kita menemukan Imam Ja'far ash-Shadiq as mengarahkan umat kepada jalan yang benar di dalam meng-istinbath hukum-hukum syariat, terutama setelah merajalelanya penggunaan qiyas sebagai salah satu sumber penetapan hukum. Maka keluar (lulus)lah beribu-ribu ulama mujtahid dari madrasah beliau, yang salah seorangnya adalah Abu Hanifah, yang telah mencurahkan waktunya untuk belajar kepada Imam Ja'far Shadiq as selama dua tahun di Madinah. Berkenaan dengan waktu dua tahun belajarnya itu Abu Hanifah berkata, "Kalaulah tidak ada dua tahun itu maka celaka lah Nu'man."
Orang-orang yang hadir di majlis Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak berkata kepada beliau kecuali dengan mengawalinya dengan kata-kata, "Aku jadi tebusanmu, wahai Putra Rasulullah."[181]
Abdul Halim al-Janadi memberikan komentar mengenai bergurunya Abu Hanifah kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as,
"Jika merupakan kemuliaan bagi Malik dia menjadi guru terbesar bagi Syafi’i, atau kemuliaan bagi Syafi’i dia menjadi guru terbesar bagi Ibnu Hanbal, atau kemuliaan bagi guru keduanya ini (Abu Hanifah —penerj.) manakala keduanya belajar kepadanya, maka bergurunya dia (Abu Hanifah) kepada Imam Ja'far ash-Shadiq telah memberikan kemuliaan kepada fikih mazhab yang empat. Adapun kemuliaan Imam Ja'far ash-Shadiq tidak dapat berkurang atau bertambah. Imam (Ja'far ash-Shadiq) adalah penyampai ilmu kakeknya saw bagi seluruh manusia. Keimamahan adalah kedudukannya, dan bergurunya para Imam Ahlus Sunnah kepadanya adalah merupakan kemuliaan bagi mereka, disebabkan mereka mendekati manusia pemilik kedudukan."[182]
Sungguh, duduk bersama Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah me-rupakan kemuliaan yang membanggakan bagi Abu Hanifah. Karena dia alim Ahlul Bait dan tambang hikmah. Musuh-musuhnya mengakui keutamaannya. Al-Manshur berkomentar tentang Imam Ja'far ash-Shadiq as, "Cucuk (tulang kecil) yang mengganggu tenggorokanku ini adalah manusia terpandai di zamannya, dan dia termasuk orang yang menginginkan akhirat dan tidak menginginkan dunia."
Yang menjadi persoalan bukan hanya sekedar pengakuan akan keutamaannya, atau menganggap mulia duduk bersama dengannya, melainkan yang terpenting ialah tunduk dan patuh kepada perintahnya. Karena ketaatan kepadanya merupakan kewajiban yang telah Allah SWT wajibkan atas setiap Muslim, sebagaimana tertetapkan di dalam hadis Tsaqalain, "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Namun yang sangat disayangkan ialah bahwa Abu Hanifah tidak menjadi orang yang tunduk dan taat kepadanya, melainkan menyendiri dengan diri- nya sendiri, memberi fatwa berdasarkan pikirannya dan melakukan qiyas di dalam agama; dan karena itu dia menentang hadis-hadis Rasulullah saw dan tidak menerimanya kecuali hanya tujuh belas hadis saja.
Saya akan akhiri pembicaraan ini dengan perdebatan yang terjadi antara Imam Ja'far ash-Shadiq as dengan Abu Hanifah,
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Abu Hanifah, "Anda siapa?"
"Abu Hanifah", jawab Abu Hanifah.
"Anda mufti Irak", Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
"Dengan apa Anda memberi fatwa kepada mereka?", tanya Imam Ja'far ash-Shadiq.
Abu Hanifah menjawab, "Dengan Kitab Allah."
"Jadi, Anda tahu tentang kitab Allah? nasikh mansukhnya! Dan juga muhkam mutasyabihnya”, tanya Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Kalau begitu, beritahukan aku tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.' Topik apakah itu?"
Abu Hanifah menjawab, "Jarak antara Mekkah dan Madinah."
Mendengar itu Imam Ja'far ash-Shadiq as menoleh ke kanan dan ke kiri seraya berkata, "Demi Allah, aku memohon dengan sangat kepada Anda, apakah Anda semua bepergian di antara jarak Mekkah dan Madinah dalam keadaan mengkhawatirkan diri Anda dari pembunuhan dan harta Anda dari pencurian?"
Dengan serempak mereka menjawab, "Ya."
Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as kembali menoleh kepada Abu Hanifah, "Celaka engkau, wahai Abu Hanifah. Sesungguhnya Allah SWT tidak berkata kecuali kebenaran."
Maka Abu Hanifah pun terdiam untuk beberapa saat, lalu dia menarik ucapannya sebelumnya dengan mengatakan, "Saya tidak mempunyai ilmu tentang Kitab Allah."
Dia mengemukakan alasan baru, "Sesungguhnya saya adalah seorang ahli qiyas."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Lihatlah kepada qiyas Anda. Jika Anda memang benar-benar orang yang suka qiyas, mana yang lebih besar dosanya di sisi Allah, apakah membunuh atau berzina?"
Abu Hanifah menjawab, "Tentu membunuh lebih besar dosanya di sisi Allah."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lebih lanjut, "Kenapa di dalam pembunuhan Allah SWT rida dengan dua saksi, sedangkan di dalam perzinahan Allah SWT tidak rida kecuali dengan adanya empat saksi? Apakah Anda menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah menjawab, "Tidak."
"Bagus", kata Imam Ja'far as-Shadiq as.
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi, "Mana yang lebih utama, apakah salat atau puasa?"
Abu Hanifah menjawab, "Salat, tentu lebih utama."
Imam Ja'far as berkata, "Berdasarkan perkataan Anda, maka orang yang haid harus meng-qadha salat yang ditinggalkannya selama haid, sedangkan puasa tidak. Padahal Allah SWT telah mewajibkan meng-qadha puasa dan tidak meng-qadha salat." Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Abu Hanifah.
Imam Ja'far ash-Shadiq ad berkata lebih lanjut, "Mana yang lebih najis, apakah air kencing atau air mani?"
Abu Hanifah menjawab, "Air kencing lebih najis."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Di sini, qiyas Anda harus mengatakan bahwa seseorang wajib mandi karena air kencing, dan tidak wajib mandi karena air mani. Padahal Allah SWT telah mewajibkan seseorang untuk mandi karena air mani, dan tidak karena air kencing. Apakah kamu menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah terdiam, dan kemudian dia berkata, "Saya adalah ahli ra'yu."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana pendapat kamu tentang seorang laki-laki yang mempunyai seorang budak. Lalu laki-laki itu menikah dan sekaligus menikahkan budaknya pada malam yang sama. Kemudian, keduanya menggauli masing-masing istrinya pada malam yang sama. Selanjutnya, keduanya melakukan perjalanan dan meninggalkan istri masing-masing di satu rumah; lalu masing-masing istrinya melahirkan seorang anak. Kemudian rumah itu runtuh menimpa mereka dan membunuh kedua wanita tersebut, sementara kedua anak itu selamat. Sekarang, menurut pendapatmu, mana dari kedua anak itu yang berkedudukan sebagai tuan dan mana yang berkedudukan sebagai budak? Mana yang sebagai pewaris dan mana yang diwarisi?"
Untuk ketiga kalinya Abu Hanifah terdiam tidak dapat menjawab pertanyaan.
0 comments:
Post a Comment